I.
Judul
percobaan :
Pengaruh Konsentrasi Enzim dan pH terhadap
Aktivitas
Enzim
II.
Hari, Tanggal Percobaan : Selasa, 22 Oktober 2013
Pukul 13.00 – 16.00 WIB
III.
Tujuan Percobaan : Membuktikan bahwa pH dan
Konsentrasi enzim
mempengaruhi
aktivitas enzim
IV.
Tinjauan Pustaka :
Enzim
atau biokatalisator adalah katalisator organik yang dihasilkan oleh sel.Enzim
sangat penting dalam kehidupan, karena semua reaksi metabolisme dikatalis oleh
enzim. Jika tidak ada enzim, atau aktivitas enzim terganggu maka reaksi
metabolisme sel akan terhambat hingga pertumbuhan sel juga
terganggu.Reaksi-reaksi enzimatik dibutuhkan agar bakteri dapat memperoleh
makanan/ nutrient dalam keadaan terlarut yang dapat diserap ke dalam sel,
memperoleh energi Kimia yang digunakan untuk biosintesis, perkembangbiakan,
pergerakan, dan lain-lain. Pada Enzim amilase dapat memecah ikatan pada amilum
hingga terbentuk maltosa.Ada tiga macam enzim amilase, yaitu α amilase, β
amilase dan γ amilase. Yang terdapat dalam saliva (ludah) dan pankreas adalah α
amilase. Enzim ini memecah ikatan 1-4 yang terdapat dalam amilum dan disebut
endo amilase sebab enzim ini bagian dalam atau bagian tengah molekul amilum
(Poedjiadi, 2006).
Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan reaksi Enzim Perubahan suhu
dan pH mempunyai pengaruh besar terhadap kerja enzim. Kecepatan reaksi enzim
juga dipengaruhi oleh konsentrasi enzim dan konsentrasi substrat. Pengruh
aktivator, inhibitor, koenzim dan konsentrasi elektrolit dalam beberapa keadaan
juga merupakan faktor-faktor yang penting.
a. Pengaruh
suhu :
Suhu rendah mendekati titik beku
tidak merusak enzim, namun enzim tidak dapat bekerja. Dengan kenaikan suhu
lingkungan, enzim mulai bekerja sebagian dan mencapai suhu maksimum pada suhu
tertentu. Bila suhu ditingkatkan terus, jumlah enzim yang aktif akan berkurang
karena mengalami denaturasi. Kecepatan reaksi enzimatik mencapai puncaknya pada
suhu optimum. Enzim dalam tubuh manusia mempunyai suhu optimum sekitar 37° C.
Sebagian besar enzim menjadi tidak aktif pada pemanasan sampai ± 60° C, karena
terjadi denaturasi( Hafiz Soewoto,2000) .
Suhu campuran reaksi juga
berpengaruh terhadap laju reaksi enzimatik. Jika reaksi tersebut dilangsungkan
dalam berbagai suhu, kurva hubungan tersebut akan menunjukkan suhu tertentu,
yang menghasilkan laju reaksi yang maksimum. Dengan demikian, dalam hal ini
juga ada kondisi optimum yang disebut sebagai suhu optimum
Makin besar perbedaan suhu reaksi
dengan suhu optimum, makin rendah pula laju reaksinya. Akan tetapi, keadaan
yang menyebabkan rendahnya suhu di luar suhu optimum berbeda antara suhu yang
lebih rendah dengan suhu yang lebih tinggi. Pada suhu yang lebih rendah penyebab
kurangnya laju reaksi enzimatik yaitu kurangnya gerak termodinamik, yang
menyebabkan kurangnya tumbukan antara molekul enzim dengan substrat. Jika
kontak antara kedua jenis molekul itu tidak terjadi, kompleks ES tidak
terbentuk. Padahal kompleks ini sangat penting untuk mengolah S menjadi P. Oleh
karena itu, makin rendah suhu, gerak termodinamik tersebut akan makin berkurang.
Pada daerah suhu yang lebih tinggi
gerak termodinamik akan lebih meningkat, sehingga tumbukan antara molekul akan
lebih sering. Akan tetapi laju reaksi tidak terus meningkat, melainkan malah
menurun dengan cara yang lebih kurang sebanding dengan selisih nilai dan suhu
optimum. Dalam peningkatan suhu ini, selain gerak termodinamik meningkat,
molekul protein enzim juga mengalami denaturasi, sehingga bangun tiga
dimensinya berubah secara bertahap. Jika suhu jauh lebih tinggi dari suhu
optimum, maka makin besar deformasi struktur tiga dimensi tersebut dan makin
sukar bagi substrat untuk menempati secara tepat di bagian aktif molekul enzim.
Akibatnya, kompleks E-S akan sukar terbentuk, sehingga produk juga makin
sedikit.
Pada sisi A dari kurva terdapat
hubungan tertentu antara kenaikan suhu dengan laju reaksi. Arrhenius secara
empiris telah mengembangkan suatu rumusan umum antara laju suatu reaksi kimia
dengan suhu mutlak system reaksi tersebut. Yang dinyatakan sebagai berikut (
Mohamad Sadikin, 2002 ):
b. Pengaruh pH :
Enzim bekerja pada kisaran pH
tertentu. Jika dilakukan pengukuran aktivitas enzim pada beberapa macam pH yang
berlainan, sebagian besar enzim di dalam tubuh akan menunjukkan aktivitas
maksimum antara pH 5,0 sampai 9,0. Kecepatan reaksi enzimatik mencapai
puncaknya pada pH optimum. Ada enzim yang mempunyai pH optimum yang sangat
rendah, seperti pepsin, yang mempunyai pH optimum 2. pada pH yang jauh di luar
pH optimum, enzim akan terdenaturasi. Selain itu pada keaadan ini baik enzim
maupun substrat dapat mengalami perubahan muatan listrik yang mengakibatkan
enzim tidak dapat berikatan dengan substrat( Hafiz Soewoto,2000) .
Sebagian
besar enzim bekerja aktif dalam trayek pH yang sempit umumnya 5 - 9. Ini adalah
hasil merupakan hasilpengaruh dari pH atas kombinasi factor ( 1 ) ikatan dari
substrat ke enzim ( 2 ) aktivitas katalik dari enzim ( 3 ) ionisasi substrat
dan ( 4 ) variasi struktur protein ( biasanya signifikan hanya pada pH yang
cukup tinggi ) ( M.T. Simanjuntak, 2003).
Ada 2 alasan
untuk menyelidiki pengaruh tingkat keasaman atau pH terhadap aktivitas emzim,
yaitu :
1.
sebagai produk makhluk hidup secara
teori selalu ada kemungkinan dari
pengaruh ph ini terhadap aktivitas
biologis dari enzim ini.
2.
sebagai suatu protein enzim tidak
berbeda dengan protein lainnya.
c. Hubungan antara pH larutan enzim
dengan laju reaksi enzim
Kadang-kadang,
seperti pada enzim amylase liur, hubungan tersebut tidak menunjukkan suatu
titik puncak, melainkan suatu garis merata (plateau setelah kurva yang naik,
untuk kemudian turun lagi sesudah plateau ) Fenomena seperti ini dapat ditafsirkan sebab adanya
molekul amylase dalam bentuk beberapa molekul protein yang berbeda (isozim).
Tiap molekul isozem niscaya bekerja pada pH yang sedikit berbeda.
Perlu
diingat bahwa dalam mencari hubungan antara derajat keasaman dengan laju reaksi
maksimum ini, rentangan pH yang diselidiki biasanya berkisar dalam rentangan
yang tidak lebar dan bukan dalam rentangan antara pH 1 sampai 14. Karena tidak
ada sistem dapar masing-masing di sekitar nilai kapasitas yang maksimum dari
tiap dapar (rentangan pH di sekitar nilai pKa komponen asam tiap dapar), bukan
tidak mengkin ada interaksi yang merugikan antara enzim dan ion penyusun dapar
dan bukan karena pH yang disebabkan dapar itu sendiri.
d. Pengaruh
konsentrasi enzim :
Peningkatan
konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi enzimatik. Dapat dikatakan
bahwa kecepatan reaksi enzimatik (v) berbanding lurus dengan konsentrasi enzim
[E]. Makin besar konsentrasi enzim, reaksi makin cepat( Hafiz Soewoto,2000) .
Semakin besar konsentrasi enzim maka makin banyak pula
produk yang terbentuk dalam tiap waktu pengamatan. Dari pengamatan tersebut
dapat dikatakan bahwa konsentrasi enzim berbanding lurus dengan kecepatan
enzim. Dengan bertambahnya waktu, pada tiap konsentrasi enzim pertambahan
jumlah produk akan menunjukkan defleksi, tidak lagi berbanding lurus sejalan
dengan berlalunya waktu tersebut. Fenomena itu tentu mudah dimaklumi, karena
setelah selang beberapa waktu, jumlah substrat yang tersedia sudah mulai
berkurang, sehingga dengan sendirinya produk olahan enzim juga akan berkurang.
Akan tetapi pada gambar 1 tampak pula dengan jelas, bahwa defleksi tersebut
makin jelas dengan makin tingginya konsentrasi enzim. Sebaliknya, pada
konsentrasi enzim yang rendah, dalam jangka waktu pengamatan yang sama hubungan
waktu dengan jumlah produk yang dihasilkan masih berbanding lurus.
Hubungan
antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim ternyata berbanding lurus. Jadi,
makin besar konsentrasi enzim, maka makin cepat laju reaksi.
Kadang-kadang
terjadi penyimpangan dari persamaan ini, sehingga diperoleh garis agak
melengkung. Biasanya, penyimpangan ini terjadi jika enzim yang dipelajari tidak
dalam keadaan murni, sehingga mungkin terdapat senyawa-senyawa penghambat reaksi
dalam jumlah yang sangat kecil. Sebaliknya, penyimpangan juga terdapat dalam
sediaan enzim dengan kemurniaan yang tinggi. Dalam keadaan ini, penyimpangan
disebabkan oleh senyawa pengaktif (aktivator), misalnya tidak adanya ion
tertentu, meskipun ph yang diperlukan sudah dipastikan dengan menggunakan
larutan dapar dan tidak hanya sekedar larutan dengan ph yang diperlukan
tersebut ( Mohamad Sadikin, 2002 ).
e. Pengaruh
konsentrasi substrat :
Pada suatu
reaksi enzimatik bila konsentrasi substrat diperbesar, sedangkan kondisi
lainnya tetap, maka kecepatan reaksi (v) akan meningkat sampai suatu batas
kecepatan maksimum (V). Pada titik maksimum ini enzim telah jenuh dengan
substrat.
Dalam suatu
reaksi enzimatik, enzim akan mengikat substrat membentuk kompleks enzim-substrat
[ES], kemudian kompleks ini akan terurai menjadi [E] dan produk [P]. Makin
banyak kompleks [ES] terbentuk, makin cepat reaksi berlangsung sampai batas
kejenuhan [ES]. Pada konsentrasi substrat [S] melampaui batas kejenuhan
kecepatan reaksi akan konstan. Dalam keadaan itu seluruh enzim sudah berada
dalam bentuk kompleks E-S. Penambahan jumlah substrat tidak menambah jumlah
kompleks E-S.
V.
Alat dan Bahan
Alat
|
bahan
|
Penangas air
|
Air liur (sumber amilase)
|
Termometer
|
Lar. Pati 1 %
|
Pipet tetes
|
Lar. Pati pH 1,3,5,7,9
|
Gelas ukur 10 mL
|
Lar. Iodium
|
Tabung reaksi
|
|
Gelas kimia 250 mL
|
|
Labu Ukur 50 mL
|
|
Rak tabung reaksi
|
|
Spektrofotometer UV - Vis
|
|
VI.
Alur Kerja
1.
Pengaruh
pH terhadap aktivitas enzim
2.
Pengaruh Konsentrasi Enzim terhadap Aktivitas Enzim
VII. Hasil Pengamatan
No.
|
Langkah kerja
|
Hasil pengamatan
|
Dugaan / reaksi
|
kesimpulan
|
|||||||||||||||||||||||
Sebelum
|
Sesudah
|
||||||||||||||||||||||||||
1.
|
Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim
\
|
Air liur : jernih tidak berwarna
Aquades : tidak berwarna
Larutan pati : putih keruh
|
Larutan pati berbagai pH + larutan enzim 100 x + I2
Tabung
I : biru keunguan (+)
Tabung
II : biru keunguan (++)
Tabung III: biru keunguan (+++)
Tabung IV : biru
keunguan (++)
Tabung V :
biru keunguan (+)
|
pH dapat
mepengaruhi aktivitas enzim
rentang pH optimum enzim amilase adalah 5 - 8
|
pH optimum enzim berdasarkan praktikum adalah 5 sesuai
dengan teori bahwa pH optimum adalah 5 – 8
berdasrakan uji UV vis nilai absorbansi tiap pH adalah
Absorbansi
pH 1 : -0,033
pH 2 : -0,018
pH 3 : -0,041
pH 2 : -0,024
pH 2 : -0,031
|
||||||||||||||||||||||
2.
|
Pengaruh konsentrasi terhadap aktivitas enzim
|
Air liur : jernih tidak berwarna
Aquades : tidak berwarna
Larutan pati : putih keruh
Larutan pati 1 % : putih keruh
Larutan I2 : merah kecoklatan
|
Larutan
enzim hasil pengenceran 100,200,300,400,500 kali : tidak berwarna
Nilai absorbansi blanko 0,002
|
Larutan pati + I2 : ungu / biru keunguan
Semakin banyak kandungan enzim maka aktivitasnya
semakin besar (kandungan enzim pada pengenceran 100x
>200x>300x>400x>500x
|
Terjadi ketidaksesuaian antara hipotesis dengan hasil
pengamatan. Terjadi kenaikan aktivitas / penurunan aktivitas enzim seiring
bertambahnya pengenceran.
Niali absorbansi x fp (10x)
100 x = 0,33
200 x = 0,35
300 x = 0,41
400 x = 0,08
500 x = 0,02
|
VII.
Analisis
dan Pembahasan
Pada praktikum ini kami
melakukan percobaan secara invitro mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
aktivitas enzim amilase yang terdapat pada air liur dalam memecah larutan pati.
Faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim diantaranya adalah konsentrasi enzim,
konsentrasi ion hydrogen (pH), suhu dan konsentrasi substrat.
Dalam praktikum kali ini digunakan bahan
pati yang diindikasikan sebagai substrat. Sedangkan air liur digunakan untuk
mengetahui reaksi enzimatik dari enzim amilase di dalamnya.
Larutan Iodium digunakan sebagai indikator perubahan warna dari larutan uji.
a.
Pengaruh Konsentrasi Enzim Terhadap
Aktivitas Enzim
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim amilase yang terdapat pada saliva
dalam memecah amilum menjadi glukosa. Reaksi enzimatis merupakan suatu
reaksi dengan menggunakan penambahan katalis enzim. Enzim berfungsi untuk
mempercepat suatu reaksi kimia organik. Salah satu faktor yang mempengaruhi
kerja dari enzim adalah konsentrasi, yaitu baik dari konsentrasi enzim itu
sendiri maupun dari konsentrasi substrat.
Dalam hal ini pati berperan sebagai
substrat, sedangkan saliva merupakan enzimnya. Saliva digunakan untuk
mengetahui reaksi enzimatik dari enzim amilase di dalamnya. Sedangkan larutan
Iodium berperan sebagai indikator perubahan warna dari larutan uji yang
spesifik untuk menguji adanya kandungan amilum dan digunakan untuk membentuk
larutan kompleks pada larutan pati.
Larutan pati merupakan larutan yang tidak
berwarna, sehingga untuk melakukan pengukuran absorbansi menggunakan
spektrofotometer larutan pati harus dijadikan larutan kompleks agar menjadi
berwarna dan dapat diukur absorbansinya. Jika larutan pati tidak dikomplekskan
maka tidak dapat diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer, karena
larutan pati tersebut tidak menyerap warna komplementer dari sinar putih
sehingga tidak ada warna yang diteruskan.
Warna Radiasi
Elektromagnetik Yang Diserap Dan Diteruskan Pada Daerah Visible
λ yang diserap (nm)
|
diserap
|
diteruskan
|
380-450
|
Ungu
|
Kuning-hijau
|
450-495
|
Biru
|
Kuning
|
495-570
|
Hijau
|
Ungu
|
570-590
|
Kuning
|
Biru
|
590-620
|
Oranye
|
Hijau-biru
|
620-750
|
Merah
|
Biru-hijau
|
Pada percobaan ini
untuk pengukuran absorbansi semuanya dilakukan pada panjang gelombang 680 nm.
Sesuai dengan tabel di atas pada panjang gelombang tersebut λ yang diserap
larutan pati terkomplekskan untuk mengahasilkan warna Biru-Hijau (yang dilihat
oleh mata kita) terletak pada rentang λ = 620-750 nm.
Sebelum melakukan
pengujian, hal pertama yang dilakukan dalam percobaan ini adalah membuat
larutan dari larutan enzim yang mengalami pengenceran 100,200,300,400 hingga
500 kali pengenceran. Tahapannya adalah sebagai berikut:
·
Pengenceran 100 kali dilakukan dengan cara
mengambil 0,5 mL saliva yang dimasukkan pada labu ukur 50 mL kemudian
ditambahkan dengan aquades hingga tanda batas.
·
Pengenceran 200 kali dilakukan dengan cara
mengambil 1mL larutan enzim yang telah mengalami pengenceran 100 kali lalu
ditambah dengan 1mL
·
Pengenceran 300 kali dilakukan dengan cara
mengambil 1 mL larutan enzim dari pengenceran 100 kali lalu ditambah 2 mL
aquades
·
Pengenceran 400 kali dilakukan dengan cara
mengambil 1 mL larutan enzim hasil pengenceran 100 kali lalu ditambah 3 mL
aquades
·
Pengenceran 500 kali dilakukan dengan cara
mengambil 1 mL saliva dari pengenceran 100 kali lalu ditambah 4 mL aquades
Setiap pengenceran
digunakan larutan induknya pada larutan hasil pengenceran 100 kali kemudian
diencerkan 200,300,400 dan 500 kali dikarenakan konsentrasi dijaga agar tidak
berubah setiap pengencerannya, karena akan dibuat kurva ΔA vs pengenceran bukan
kurva ΔA vs konsentrasi.
b.
Blanko
Pembuatan larutan blanko dilakukan dengan
cara mengambil 1 mL pati yang berwarna putih keruh dimasukkan ke dalam tabung
reaksi, dalam percobaan ini pati (amilum) berperan sebagai substratnya.
Selanjutnya pati didiamkan 5 menit yang bertujuan agar pati terdegradasi
secara sempurna. Lalu ditambahkan 1 mL iodium yang berwarna kuning
kecoklatan dan larutan berubah menjadi ungu. Penambahan larutan Iodium
digunakan sebagai indikator perubahan warna dari larutan uji dan untuk
menentukan adanya amilum kemudian ditambahkan 8 mL aquades, dimana aquades
ini berfungsi agar larutan tidak terlalu pekat dan dapat diukur aborbansinya
pada Spektrofotometer UV - Vis, karena pada Spektrofotometer UV - Vis jika
larutan terlalu pekat maka tidak dapat terbaca absorbansi pada
larutan. Pada larutan blanko tidak diberi penambahan enzim, karena larutan
blanko disini sebagai pembanding larutan uji. Larutan blanko hanya berisi
larutan pati dan iodium sehingga menghasilkan warna ungu(+++++). Pada
percobaan ini akan dihasilkan nilai absorbansi blanko yang berfungsi sebagai
larutan sebenarnya yang tanpa adanya pengotor-pengotor. Pengukuran dengan
spektrometer UV pada λ= 680 nm didapatkan nilai absorbansi blanko sebesar
0,002.
c.
Larutan uji
Pembuatan larutan uji pada percobaan
pengaruh konsentrasi enzim terhadap aktivitas enzim yaitu dengan cara mengambil
masing-masing 1 mL pati pada 5 tabung reaksi, dalam percobaan ini pati (amilum)
berperan sebagai substratnya. Selanjutnya pati didiamkan 5 menit yang bertujuan
agar pati terdegradasi secara sempurna. Selanjutnya ditambahkan 0,2
mL saliva dari larutan enzim dengan pengenceran 100-500 kali pada tiap-tiap
tabung, dan didiamkan selama 1 menit. Dimana pada keadaan ini akan terjadi
hidrolisis parsial. Larutan pati merupakan polisakarida yang dapat dihidrolisis
oleh enzim amilase pada saliva sehingga menjadi glukosa. Larutan air liur
yang telah diencerkan menjadi 100x, 200x, 300x, 400x dan 500x. Dari konsentrasi
ini sebelum praktikum kita dapat memprediksikan jika laju reaksi akan mencapai
titik tertinggi pada konsentrasi 0,01 dan titik terendah pada konsentrasi
0,0017. Keadaan ini adalah seperti pada teori yang menyebutkan bahwa Hubungan antara laju reaksi dengan
konsentrasi enzim ternyata berbanding lurus. Jadi, makin besar konsentrasi
enzim, maka makin cepat laju reaksi yang tertera pada kurva ( Mohamad
Sadikin, 2002).
Kemudian tiap-tiap tabung tersebut
dimasukkan kedalam penangas, hingga mencapai suhu 600 C dan 1000 C.
Setelah itu, ditambahkan larutan iodium 1 ml dalam 8 ml
aquadest pada masing-masing tabung, untuk suhu 600 C dan 1000 C
dilakukan di luar penangas, perlakuan tersebut bertujuan untuk menghindari
terjadinya bumping selama proses pemanasan. Penambahan iodium ini berfungsi
sebagai indikator untuk menentukan adanya amilum.
Tabung
I : larutan ungu
pekat (++++)
Tabung
II : larutan ungu pekat (+++)
Tabung
III : larutan ungu pekat (++)
Tabung
IV : larutan ungu pekat (+)
Tabung
V : larutan ungu pekat
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa
semakin besar pengenceran yang dilakukan maka mengakibatkan warna larutan
semakin berkurang.
Konsentrasi enzim
mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik. Pengaruh konsentrasi enzim ini yaitu
pembentukan produk, dimana makin besar konsentrasi enzim makin banyak
pula produk yang dihasilkan sehingga dapat dinyatakan bahwa laju reaksi
berbanding lurus dengan konsentrasi enzim.
Pada larutan uji,
larutan pati yang ditambah dengan enzim amilase akan terhidrolisis menjadi glukosa.
Sehingga ketika ditambah dengan larutan iodium warna larutan uji menjadi ungu
pekat, sebab polisakarida yang terkandung di dalam larutan pati telah
terdegradasi menjadi glukosa. Hal tersebut sesuai dengan percobaan yang
dilakukan. Oleh karena itu walaupun telah diencerkan 100x, 200x, 300x, 400x,
dan 500x konsentrasinya hanya sedikit berkurang. Pada percobaan ini akan
menghasilkan nilai absorbansi sampel yaitu absorbansi yang masih memiliki
pengotor – pengotor di dalamnya sehingga untuk mencari absorbansi yang sebenarnya
dengan cara nilai absorbansi blanko dikurangi nilai absorbansi sampel.
Digunakan cara demikian karena adanya kemampuan enzim dalam mendegradasi pati.
Pada percobaan ini sebelum pengujian dengan UV dilakukan pengenceran terhadap
larutan uji dengan cara mengambil 1mL larutan uji pada tiap-tiap tabung lalu
dilakukan pengenceran hingga 10 mL. Hal ini dikarenakan larutan uji yang
terlalu pekat sehingga menghindari agar larutan tidak terlalu pekat dan dapat
diukur aborbansinya pada UV-vis, karena pada UV-vis jika larutan terlalu pekat
maka tidak dapat terbaca absorbansi pada larutan.
Kurva
konsentrasi vs kecepatan reaksi enzimatik
a. Secara
teori
b. Hasil percobaan
Pengenceran
|
Absorbansi Blanko
|
Absorbansi Sampel
|
ΔA = blanko-sampel
|
100x
200x
300x
400x
500x
|
0,002
0,002
0,002
0,002
0,002
|
-0,031
-0,033
-0,039
-0,010
0,004
|
0,033
0,035
0,041
0,012
-0,002
|
Adapun kurva hasil
percobaan memperlihatkan laju reaksi dari enzim semakin cepat seiring
bertambahnya suhu ini terlihat pada kenaikan pengenceran namun terjadi
penurunan aktifitas enzim saat pengenceran 400-500 kali. Kecenderungan ini
diakibatkan karena pada saat penambahan iodium diluar penangas, tidak dilakukan
secara bersamaan hal ini akan mengakibatkan perbedaan benturan antara enzim dan
substrat. Pada keadaan pertama yaitu saat penangas terasa panas dan semakin
lama akan terjadi penurunan suhu saat di luar penangas, akibatnya terlihat
peningkatan laju reaksi karena adanya gerak termodinamik yang secara perlahan
membentuk produk dan pada titik optimum yaitu pada saat pengenceran 300 kali dapat
dikatakan membentuk secara sempurna karena kemungkinan pada saat dilakukan
penambahan iodiom tersebut suhu berada pada suhu optimum karena enzim amylase
yang merupakan enzim yang terdapat tubuh memilki suhu optimum 37oC. Pada
keadaan kedua yaitu suhu mengalami kenaikan hingga saat penambahan pada
pengenceran 400-500 kali ini perbenturan antara enzim dan substrat terus
berlangsung namun keadaan ini tidak menambah laju reaksi namun mengurangi laju
reaksi ini disebabkan karena enzim mengalami denaturasi sehingga bangun tiga
dimensinya berubah secara bertahap. Jika suhu jauh lebih tinggi dari suhu
optimum, maka makin besar deformasi struktur tiga dimensi tersebut dan
makin sukar bagi substrat untuk menempati secara tepat di bagian aktif molekul
enzim. Akibatnya, kompleks E-S akan sukar terbentuk, sehingga produk juga makin
sedikit dan ini terlihat ( Mohamad Sadikin, 2002 ) dari kurva laju reaksi yang
semakin menurun. Dari kurva terlihat bahwa pada pengenceran 300 kali terjadi
kenaikan nilai absorbansi, sehingga didapatkan kurva yang tidak sesuai teori.
Hal ini disebabkan telalu lamanya tabung reaksi berada di luar penangas,
sehingga diperkirakan suhu dalam tabung berada di bawah 60 oC
pada saat pencampuran sehingga tumbukan antara enzim dan substrat mengalami
penurun dan mendekati suhu optimum sehingga menghasilkan absorbansi yang tinggi. Dari
hasil percobaan kami tidak dapat membuktikan bahwa konsentrasi mempengaruhi
kecepatan reaksi enzimatik. Kurva yang berbeda pada hasil percobaan dikarenakan
adanya kesalahan dalam prosedur kerja. Kesalahan dalam prosedur kerja ini yaitu
ketidaktelitian dalam pengenceran. Pengenceran yang dimaksud adalah
ketika mengencerkan sebelum diuji dengan UV-vis sehingga mempengaruhi hasil pengamatan pada hasil nilai absorbansi.
f. Pengaruh pH Enzim
Terhadap Aktivitas Enzim
Umumnya kecepatan
reaksi enzimatik meningkat hingga mencapai pH optimal dan menurun setelah pH
lebih besar dari pH optimal. Pada pH 1, 3 dan 5, aktivitas enzim masih ada,
tetapi kecil (ditunjukkan oleh kecepatan reaksi enzimatik yang kecil pula). Hal
ini disebabkan pada pH kurang dari 4, enzim amilase menjadi tidak aktif. Pada
pH 8 aktivitas enzim menurun karena telah terlewati pH optimal dari enzim
tersebut. Kerja enzim sebagai katalis dipengaruhi oleh pH. Adanya nilai pH
tertentu, yang memungkinkan enzim bekerja maksimum. pH tersebut
dinamakan pH optimum. Pada kondisi asam protein enzim
mengambil struktur 3 dimensi yang sangat tepat, sehingga ia dapat mengikat dan
mengolah substrat dengan kecepatan yang setinggi-tingginya. Di luar nilai pH
optimum tersebut struktur 3 dimensi enzim mulai berubah, sehingga substrat
tidak dapat lagi menempati posisisnya dengan tepat pada bagian molekul enzim
yang mengolah substrat. Akibatnaya, proses katalisis berjalan tidak optimum.
Oleh karena itu, struktur 3 dimensi berubah akibat pH yang tidak optimum.
Pada percobaan ini
digunakan 7 tabung reaksi, 1 untuk blanko dan 5 untuk enzim.
a.
Blanko
Pembuatan blanko disini yaitu dengan cara
mengambil 1 mL pati 1% yang berwarna putih keruh kedalam tabung reaksi. Dalam
percobaan ini pati (amilum) berperan sebagai substratnya. Selanjutnya pati
didiamkan 5 menit, hal ini bertujuan agar pati terdegradasi secara
sempurna. Lalu ditambahkan 1 mL iodium dan warna larutan menjadi biru
keunguan. Penambahan iodium berfungsi sebagai indikator untuk menentukan
adanya amilum dan ditambahkan 8 mL aquades, dimana aquades ini berfungsi
agar larutan tidak terlalu pekat dan dapat diukur aborbansinya pada Spektrofotometer
UV - Vis, karena pada Spektrofotometer UV - Vis jika larutan terlalu pekat maka
tidak dapat terbaca absorbansi pada larutan. Pengukuran dengan spektrometer UV
pada λ= 680 nm didapatkan nilai absorbansi blanko sebesar -0,005. Nilai
absorbansi yang minus disini dikarenakan larutan blanko yang diuji telah
mengalami pengenceran 10 kali dengan mengambil 1 mL larutan blanko dalam 9 mL
akuades. Hal ini menyebabkan nilai absorbansinya menjadi semakin kecil sehingga
enzim amylase tidak bekerja dalam menghirdrolis larutan pati karena struktur 3
dimensi dari enzim amylase telah berubah sehingga tidak dapat mengolah substrat
dengan baik.
b.
Larutan uji
Cara pembuatan larutan uji dilakukan dengan
mengambil 1 mL pati dengan pH sebagai berikut, tabung I pH 1, tabung II pH 3,
tabung III pH 5, tabung IV pH 7, tabung V pH 9, dan tabung VI pH 11. Dalam
percobaan ini pati (amilum) berperan sebagai substratnya. Selanjutnya pati
didiamkan 5 menit, hal ini bertujuan agar pati terdegradasi secara
sempurna. Selanjutnya ditambahkan 0,2 mL saliva pada semua tabung, dan
didiamkan selama 1 menit. Dimana pada keadaan ini akan terjadi hidrolisis
parsial. Larutan pati merupakan polisakarida yang dapat dihidrolisis oleh enzim
amilase pada saliva sehingga menjadi glukosa. Lalu ditambahkan 1 mL iodium
dan warna larutan menjadi:
Tabung I : biru keunguan (+)
Tabung II : biru keunguan (++)
Tabung III: biru keunguan (+++)
Tabung IV : biru keunguan (++)
Tabung V : biru keunguan (+)
Penambahan larutan
iodium pada larutan pati menghasilkan larutan kompleks berwarna biru keunguan.
Pada keadaan ini menandakan bahwa di dalam larutan pati masih terdapat
karbohidrat berupa polisakarida. Pada pH 1, 3, 5, 7 dan 9 ini dapat
dikatakan sudah tidak adanya karbohidrat (dari larutan pati yang terdiri dari
amilosa dan amilopektin) karena dihidrolisis oleh amilase terlihat dengan tidak
didapatkan warna biru kehitaman (menandakan adanya amilosa) ataupun merah ungu
(menandakan adanya amilopektin) ketika ditambahkan larutan iodium. Kerja enzim amilase
dikatakan sebagai hidrolisis parsial dan memperlihatkan bahwa enzim amilase
berada pada kondisi 3 dimensi yang tepat sehingga dapat menghidrolisis
karbohidrat dari larutan pati dengan sangat cepat.
Penambahan iodium berfungsi sebagai indikator
untuk menentukan adanya amilum, sehingga
dapat dikatakan pada pH ini enzim amilase tidak bekerja optimum dalam
menghirdrolis larutan pati karena struktur dari enzim amilase telah berubah
sehingga tidak dapat mengolah substrat dengan baik. Lalu ditambahkan 8 mL aquades,
dimana aquades ini berfungsi untuk agar larutan tidak terlalu pekat dan
dapat diukur aborbansinya pada Spektrofotometer UV - Vis, karena pada Spektrofotometer
UV - Vis jika larutan terlalu pekat maka tidak dapat terbaca absorbansi pada
larutan. Pada percobaan ini akan menghasilkan nilai absorbansi sampel yaitu
absorbansi yang masih memiliki pengotor – pengotor di dalamnya sehingga untuk
mencari absorbansi yang sebenarnya dengan cara nilai absorbansi blanko
dikurangi nilai absorbansi sampel. Digunakan cara demikian karena kemampuan
enzim dalam mendegradasi pati.
Terlihat pada kurva di bawah ini:
Kurva
pH vs kecepatan reaksi enzimatik
a. Secara
teori
b. Hasil percobaan
pH
|
Absorbansi Blanko
|
Absorbansi Sampel
|
ΔA = absorbansi blanko-sampel
|
1
3
5
7
9
|
0,005
0,005
0,005
0,005
0,005
|
-0,033
-0,018
-0,041
-0,024
-0,031
|
0,038
0,023
0,046
0,029
0,036
|
Pada percobaan pengaruh
pH terhadap aktivitas enzim ini dihasilkan aktivitas enzim pada pH 5 dan pada
teori mengatakan bahwa enzim amylase bekerja pada pH optimum dengan rentang 5 –
8. Hal ini dikarenakan pada pH 1 dan pH 9 mikroba pada enzim bereaksi sehingga
pati telah terhidrolisis terlebih dahulu pada pH tersebut. Kerja enzim amilase
dikatakan sebagai hidrolisis parsial dan memperlihatkan bahwa enzim amilase
berada pada kondisi 3 dimensi yang tepat sehingga dapat menghidrolisis
karbohidrat dari larutan pati dengan sangat cepat.
VIII.
Kesimpulan
1.
Konsentrasi enzim mempengaruhi kecepatan aktifitas enzim. Secara teori Semakin besar kandungan enzim maka
kecepatan menghidrolisis pati juga makin tinggi, makin kecil kandungan enzim
maka kecepatan menghidrolisis pati juga makin rendah. Dari hasil percobaan
kami tidak dapat membuktikan bahwa konsentrasi mempengaruhi kecepatan reaksi
enzimatik. Kurva yang berbeda pada hasil percobaan dikarenakan adanya kesalahan
dalam prosedur kerja yaitu ketidaktelitian dalam pengenceran.
Pengenceran yang dimaksud adalah ketika mengencerkan sebelum diuji dengan
UV-vis sehingga mempengaruhi hasil pengamatan pada hasil nilai absorbansi
2.
pH dapat mengaruhi aktivitas enzim. Pada percobaan
pengaruh pH terhadap aktivitas enzim ini dihasilkan aktivitas enzim pada pH 5
dan pada teori mengatakan bahwa enzim amylase bekerja pada pH optimum dengan
rentang 5 – 8. Hal ini dikarenakan pada pH 1 dan pH 9 mikroba pada enzim
bereaksi sehingga pati telah terhidrolisis terlebih dahulu pada pH tersebut.
Jawaban Pertanyaan
1.
Buatlah kurva yang
menggambarkan hubungan antara kecepatan reaksi enzimatis dengan pH
2.
Buatlah kurva yang
menggambarkan hubungan antara kecepatan reaksi enzimatis dengan pH
IX.
Daftar Pustaka
Ahira,
Anne. 2011. Mengenal Enzim-enzim
Pencernaan Manusia. (online). http://www.anneahira.com.
Diakses pada tanggal 16 Oktober 2012.
Lehninger AL. 1982. Dasar – Dasar Biokimia Jilid I. Maggy
Thenawijaya, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles
of Biochemistry.
Ruddin, Choi.2010. LAPORAN
PRAKTIKUM BIOKIMIA II PERCOBAAN II ENZIM. Jayapura : Universitas
Cendrawasih
Tim . 2013. Petunjuk Praktikum Biokimia. Surabaya:
Unesa Press.
X.
Lampiran
maaf kak, knp hasil selisih dari absorbansi dg suhu 100 derajat itu minus yaa kak ??
BalasHapus